Click Here For Free Blog Templates!!!
Blogaholic Designs

Pages

Senin, 21 September 2015

Sepucuk Surat dari Daun yang Gugur

Ohayou.
Brrr... pagi ini begitu menggigilkan. Daun sudah berguguran sejak bulan lalu dan menyisakan beberapa yang masih enggan untuk menanggalkan diri. Natal tinggal menghitung hari, tapi aku belum mempunyai rencana bagus untuk melewatkannya.
Ini adalah Desember kedua yang kuhabiskan di negeri matahari terbit. Tahun lalu aku merayakan Natal di Kanazawa, tepatnya di Pantai Kongo di Semenanjung Noto bersama beberapa teman sekolahku di SMA Teitan. Sebenarnya kami tidak benar-benar merayakan hari besar tersebut. Kami hanya memanfaatkan hari liburnya untuk sekedar bersenang-senang dengan melakukan tur sederhana keluar kota. Sudah hampir dua tahun aku menetap di sini dan aku sudah mengelilingi hampir seluruh prefektur di negeri ini.
Hohoho.
Seperti orang Jepang saja. Bahkan mungkin penduduk Jepang belum pernah mengadakan tur sepertiku. Sejujurnya, aku bukan penduduk Jepang asli. Aku berasal dari negeri seberang di sebelah selatan Semenanjung Malaya. Uh-oh. Aku muak hendak menyebut namanya. Yang jelas aku berasal dari negeri tropis yang panas dan tak patut kubanggakan.
Sudahlah, lebih baik aku pergi ke sekolah saja.
***
Krriieettt...
Kubuka perlahan pintu apartemen yang sudah bobrok. Engselnya sudah rusak dan pelat kuningannya hampir copot. Kusen pintunya juga sudah reyot dan sama sekali memprihatinkan. Tapi entah mengapa Kakek Osawa—pemilik apartemen—tidak mau menggantinya dengan alasan penghematan biaya. Kurasa ini bukan lagi bernama apartemen. Mungkin lebih baik disebut rumah susun.
Ohayou, Takuma-san!”
Oh, sial. Suara ceria yang khas membuat langkahku terhenti seketika. Aku menoleh ke apartemen sebelah dan mendapati seorang gadis berumur empat belas tahun melongokkan kepalanya dengan senyum manis di bibirnya.
Ohayou, Haru-chan.” Sapaku terpaksa, melihat keramahan tetangga kecilku. “Kau sedang apa?”
Haru-chan membuka pintu lebih lebar dan menghampiriku. “Boleh aku menitip sesuatu padamu? Maruko akan mengikuti kompetisi membuat komik di majalah komik Ocha. Dia tidak sempat membelinya dan aku juga tidak sempat mampir ke toko karena aku naik kereta sebelumnya menuju Kyoto. Boleh tidak?”
Aku tersenyum lalu mengangguk maklum. Dasar. Ini hanya kedok supaya aku mau menuruti kemauannya. Menurut Maruko-chan, saudara kembarnya, Haru-chan memiliki perasaan khusus padaku. Karena itu ia sering memberiku perhatian lebih dari sekedar hubungan tetangga.
“Baiklah, aku akan membelikannya untuk Maruko-chan. Aku pergi dulu. Ja mata ne.”
Aku kembali melangkahkan kaki dan meninggalkan Haru-chan. Kusempatkan menyapa satu-dua tetangga di apartemenku, sekedar beramah-tamah saja. Sampai di gerbang, aku merapatkan jaket dan syal. Baru selangkah keluar dari gerbang, aku melihat kotak surat milikku terisi penuh. Ah, iya. Aku lupa tak mengecek surat yang datang sejak dua minggu lalu.
Dengan terpaksa aku menghampiri kotak suratku dan mengambil seluruh isinya. Ternyata ada tujuh surat yang ditujukan padaku. Dua surat tagihan barang dari toko musik, satu surat penawaran asuransi pendidikan, satu surat peringatan dari sekolah, dua surat dari pengagum rahasiaku, dan… satu surat yang tak jelas. Apakah surat cinta lagi? Ah, itu lebih baik daripada surat tagihan karena uang sakuku sebenarnya sedang menipis.
Surat terakhir itu tak beramplop, ditulis dengan pena hitam pekat menggunakan huruf hiragana. Tulisannya sama sekali tidak rapi dan terkesan asal-asalan. Karena penasaran, aku membacanya.
Surat ini kutujukan kepada lelaki yang tengah berdiri di negeri orang di bawah gugur daun maple.
Siuuutt… Pluk!
Sehelai daun maple jatuh tepat di atas kertas surat. Aku menaikkan alisku sebelah. Shit, apa-apaan orang ini? Mengapa timing-nya pas sekali?
Tidak perlu terkejut. Ini memang musim gugur. Dan pasti kau tengah membaca surat ini di depan gerbang apartemenmu di bawah pohon maple yang sedang berguguran daunnya. Baka! Jangan bodoh, pemuda.
Mataku membelalak seketika. Emosiku tersulut. Orang ini benar-benar mempermainkanku.
Aku tahu kau pemuda Indonesia yang berlagak seperti orang Jepang. Simpan saja topengmu dulu. Kau perlu keluar dari persembunyianmu. Kau harus menyesal telah mencoreng-moreng tanah kelahiranmu.
Baka!” umpatku,”Ternyata orang Indonesia. Apa maksudnya?”
Pagi yang terasa amat menggigilkan berubah menjadi terasa gerah. Memang benar bukan surat tagihan yang kudapat, namun malah surat kaleng sialan. Tanganku meremas-remas surat kaleng itu dengan sarat emosi.
***
“Hei, Takuma!”
Aku menoleh malas ke arah suara yang memanggil namaku. Tiga orang temanku baru saja memasuki gerbang sekolah dengan penampilan layaknya berandalan. Mereka adalah Kazehaya Matsumoto−laki-laki tertinggi di kelas dengan tubuh kekar, Akira Midorikawa−berandalan dari Osaka dengan logat Kansai yang kental, dan Narumi Shogo−pemain sepak bola andalan di sekolah.
“Mengapa wajahmu muram begitu?”Akira bertanya dengan mulut sibuk mengunyah permen karet. Setiap pagi ia memang tak pernah menggosok gigi. Sebagai gantinya, ia selalu mengunyah permen karet. Asal tahu saja, persediaan permen karetnya bisa sampai satu kardus besar.
Sebelum sempat kujawab, Kazehaya menimpali,”Kapan Takuma tak bersedih di akhir bulan seperti ini? Pasti uang sakumu terkuras habis kemarin.”
Aku meringis malu. Sialan. Tahu saja dia kalau kemarin aku baru saja membayar sewa apartemen dan sejumlah tagihan makanan pesan antar yang kupesan selama dua minggu terakhir. Ya, cuaca yang sangat dingin membuatku malas keluar apartemen untuk membeli sesuatu. Entahlah, aku belum terbiasa dengan cuaca ekstrim di Jepang.
“Mau pergi ke Kyoto saat Natal nanti?” tanya Narumi.
Aku menggeleng.“Otosan akan mengajakku pulang.”
Kazehaya memutar bola matanya,“Benarkah? Ke negeri asalmu? Hahaha… Kita perlu merayakannya. Kalau begitu kau harus traktir kami di kedai ramen pulang sekolah nanti.”
“Hei, kau sudah bosan hidup, hah?” aku meninju lengannya perlahan. Kazehaya terkekeh perlahan.
“Takuma, kau sudah dengar kabar baru?”Akira mengalihkan topik.
“Kau tahu aku bukan raja gosip.”
Akira mengedikkan bahunya,“Ada murid baru di kelas kita.”
Bibirku menyunggingkan senyum tipis,”Siapa peduli?”
Akira merangkulku dan berujar,”Jangan katakan kau tak peduli. Lihat saja nanti.”
Aku menaikkan sebelah alis,”Maksudmu?”
Akira hanya tersenyum misterius. Aku melirik Kazehaya dan Narumi, meminta penjelasan dari mereka berdua. Namun kedua temanku itu hanya terkekeh melihatku yang begitu penasaran.
***
“Ohayou. O genki desu ka?” ujar wali kelasku, Yamamoto-san.
Haiiik genki desu.” Seluruh murid menjawab serempak. Cih, seperti anak SD saja.
“Anak-anak, hari ini kalian mempunyai teman baru. Sensei harap kalian bisa berteman dengannya dan membantunya dalam bergaul karena mungkin ia akan mengalami sedikit kesulitan dalam berkomunikasi.”
Narumi menyeletuk,”Yamamoto-san! Memangnya dia bisu?”
Yamamoto-san menggeleng,”Bukan begitu, Narumi Shogo.Tapi karena dia bukan orang Jepang.”
Seisi kelas mulai riuh. Jelas saja. Kapan lagi kami punya teman bule?
“Kalau begitu lebih baik sensei panggilkan saja orangnya.” Yamamoto-san keluar dari kelas. Tak sampai semenit kemudian beliau kembali bersama seorang perempuan dengan sebuah tas terselempang di bahunya. Kelas semakin riuh apalagi para kaum adam, termasuk aku. Sementara respon dari para kaum hawa hanya biasa saja walaupun beberapa terlihat antusias. Mungkin mereka kecewa karena bukan lelaki bule yang datang. Hahaha. Dasar, perempuan!
“Silakan perkenalkan dirimu.” perintah Yamamoto-san pada murid baru.
Perempuan berparas cantik itu sangat familiar. Bukannya aku mengenalinya. Namun kurasa aku masih serumpun dengannya. Ia tak berwajah oriental seperti kebanyakan perempuan China ataupun Jepang sendiri. Kurasa ia berasal dari Thailand atau Philipina.
Hajime mashite. Watashi wa Keiko-chan desu. Sebelumnya aku meminta maaf jika bahasa Jepang-ku masih berantakan. Aku berasal dari Indonesia.”
Apa? Dari Indonesia? Apa aku tidak salah dengar?
“Mohon bantuannya, ya. Douzo yoroshiko.” perempuan itu membungkuk sebentar dan mengakhiri ucapannya.
Sementara aku masih shock mendengarnya, Yamamoto-san memberikan perintah,”Hei, kau, Kazehaya Matsumoto! Pindahlah kau ke belakang karena Keiko akan menempati bangkumu. Tubuhmu terlalu jangkung untuk Keiko-chan yang mungil.”
Entah apa yang mendorongku berbuat, tapi aku tiba-tiba mengacungkan tangan,”Yamamoto-san! Aku ingin pindah! Aku tak sudi duduk di depan murid baru itu!”
Sontak kelas hening seketika.Aku pun acuh tak acuh dengan mereka.
“Ada apa denganmu, Takuma? Bukankah kalian sama-sama orang Indonesia?” Yamamoto-san mengernyit, tanda tak mengerti,”Sensei pikir akan lebih mudah bagi Keiko-chan bila duduk di dekatmu.”
Kata-kata Yamamoto-san serasa cambuk bagiku. Cuih, mengapa pula beliau mengatakan kalau asalku dari Indonesia? Harga diriku terasa habis hangus terbakar di depan murid baru itu.
“Sudahlah, sensei tidak tahu apa masalahmu.Tapi sensei rasa Keiko-chan memang harus duduk di belakangmu, Takuma.Kasihan kalau Keiko-chan harus duduk di belakang sementara ada Tokyo Tower di depannya. Atau kau mungkin bersedia menuliskan catatan untuknya setiap hari?”
Mulutku seperti disumpal sampah saat itu juga.
***
Aku sedang menikmati makan siangku saat murid baru itu menghampiriku. Hampir saja aku tersedak ramenku sendiri gara-gara kedatangannya yang tiba-tiba itu. Bahkan bukan aku saja yang terkejut. Ketiga temanku—Kazehaya, Akira, dan Narumi—juga sama terkejutnya denganku. Murid baru itu mendatangiku dengan sepiring nasi karinya dan langsung bergabung satu meja dengan kami tanpa mengucap sepatah kata pun. Awalnya aku juga diam seribu bahasa dan bersikap acuh tak acuh dengannya. Namun Akira tak bisa menahan mulutnya untuk mengoceh.
“Kau murid baru di kelas, kan? Perkenalkan, aku Akira Midorikawa dari Osaka. Salam kenal.” Akira mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan. Membuatku ingin muntah saja.
Murid baru itu menoleh kaget karena sapaan Akira. Ia lalu tersenyum dan mengulurkan tangannya,”Salam kenal. Kau bisa memanggilku Keiko-chan.”
Kazehaya terlihat mengerutkan dahinya,”Keiko-chan?”
Keiko tertawa,”Ya. Nama belakangku menggunakan bahasa Indonesia. Jadi kalian mungkin akan sedikit kesulitan memanggilku dengan nama itu. Lagipula aku merasa lebih nyaman dipanggil Keiko.”
Kazehaya mengangguk-angguk mengerti,”Aku Kazehaya Matsumoto. Kau juga boleh memanggilku Kazehaya.”
Apa? Aku berdecak kesal. Pasti hanya bercanda saja. Kazehaya tak pernah membiarkan orang lain memanggil nama kecilnya.
“Kau juga boleh memangilku Narumi.”
Celetukan dari Narumi membuatku makin tercengang. Hei, apa-apaan mereka bertiga?
“Kenapa kalian membiarkan orang asing memanggil nama kecil kalian?” protesku.
“Kurasa itu tak masalah.” ujar Narumi tenang,”Oh, ya, Keiko, kau juga boleh memanggil Takuma saja.”
“Hei! Kau jangan macam-macam, Narumi!”
Sebelum Narumi membalasku, Keiko angkat bicara lebih dulu,”Tenang saja, Takuma-kun. Aku bukan orang asing di kehidupanmu. Kita kan masih sebangsa dan setanah air.”
Aku melirik Keiko tajam,”Apa maksudmu berkata seperti itu?”
Jangan kira gue nggak tahu tentang pengkhianatan lo, ya.
Ucapan Keiko yang menggunakan bahasa Indonesia membuatku dan yang lainnya terkejut. Namun aku langsung membalasnya,”Ngapain lo ngebelain negara itu?Rugi lo.
Kini ganti Keiko yang menatapku tajam,”Nggak usah muna, lo. Elo emang nggak punya jiwa nasionalisme dan patriotisme banget, sih?
Ngapain juga gue mesti ngebelain negara yang isinya para koruptor?
Braaak!!
Tiba-tiba Keiko menggebrak meja. Sontak saja perbuatannya itu membuat murid lain menoleh kea rah meja kami. Akira segera menyuruh murid-murid yang lain untuk tidak menghiraukan kami sementara Kazehaya dan Narumi menenangkan Keiko.
“Tenanglah, Keiko. Lagipula apa sih yang kalian bicarakan?”
Keiko tak menjawabnya, begitu pula aku.Aku memutuskan untuk beranjak dari tempat itu walaupun ramenku masih sisa separuh. Sambil membuang sumpit, aku berkata pada Keiko,”Lo adalah orang yang nulis surat kaleng, kan? Jangan kira gue bisa termakan omong kosong lo.
Keiko terlihat memucat di tempat. Saat itu pula senyum kemenangan terukir di bibirku.
***
Seperti tahun-tahun sebelumnya, sekolahku mengadakan perayaan malam tahun baru bersama-sama sambil menantikan turunnya salju pertama kali. Kali ini panitia pesta perayaan tahun baru yang merupakan perwakilan siswa dari masing-masing kelas mengangkat sebuah tema yang unik dan menarik. Jika tahun lalu temanya merupakan kebudayaan Jepang sendiri, sekarang adalah kebudayaan Asia Barat dan Tenggara. Jelas saja pasti kelas kami memilih untuk mengangkat tema dari kebudayaan Negara Seribu Pagoda. Sudah lama sekali aku ingin mengunjungi negara itu.
Tsubaki, sebagai panitia dari perwakilan kelas kami memimpin rapat. Setelah menjelaskan secara panjang lebar mengenai pelaksanaan pesta perayaan tahun baru yang dirangkap sebagai festival kebudayaan di musim dingin, ia mengajukan beberapa negara.“Aku punya usul untuk mengangkat tema kebudayaan Negara India, Thailand, atau Nepal. Ada yang keberatan?”
Semua mengangguk-angguk setuju. Sampai pada akhirnya seseorang mengangkat tangannya. Keiko-chan!
“Kenapa tidak mengangkat tema kebudayaan Indonesia saja?”
Mataku membelalak dan seketika itu pula aku menyahut,”Hei, apa kau tak tahu sekarang itu musim dingin? Kostum untuk budaya Indonesia banyak yang tipis dan terbuka. Kau mau kita semua mati kedinginan?”
Keiko-chan mengacuhkanku,”Bagaimana, Tsubaki-kun? Kurasa kostum tidak masalah. Indonesia masih punya banyak budaya yang sangat beragam. Kurasa tidak sedikit yang berpakaian tertutup.”
“Hei, memang seberapa tebalnya, sih? Mungkin teman-teman tidak tahu, tapi kau dan aku sudah tahu pasti bahwa pakaiannya terlalu tipis, Keiko-chan!”
“Apa maksudmu, Takuma? Memangnya kenapa kalau tipis? Kau benar-benar takut mati kedinginan? Kalau begitu aku dan yang lainnya saja yang mau.” Keiko membalikkan badan lalu mengedarkan pandangan ke segala arah,”Teman-teman, kalian setuju dengan ideku, kan?”
Semua hening, tak merespon pertanyaan Keiko.
Sampai akhirnya Tsubaki-kun berkata,”Maaf, Keiko-chan. Takuma benar. Aku pernah menyaksikan festival kebudayaan milik negaramu saat musim panas dan benar, pakaiannya terlalu tipis untuk dikenakan saat musim dingin seperti sekarang ini.”
“Iya, Keiko-chan. Maaf, ya.”
Bersahut-sahutan permintaan maaf dilontarkan kepada Keiko. Terlihat Keiko hanya diam membisu dengan tatapan nanar yang tak kumengerti apa maksudnya.
***
Setelah merayakan Natal di Kyoto bersama tiga sohib kentalku, aku disibukkan kembali dengan persiapan festival kebudayaan untuk malam tahun baru nanti. Akhirnya kelas kami sepakat mengangkat tema kebudayaan dari Negara Nepal. Sebenarnya aku masih sangat menginginkan Thailand, tapi itu sama saja dengan Indonesia.  Jadi terpaksa aku ikut mengalah saja.
Dan hari yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang. Malam perayaan tahun baru dengan festival kebudayaan yang baru. Kami sekelas mengenakan baju hangat ala bangsa Tibet. Kostum yang tidak terlalu buruk karena setidaknya kami tak perlu repot-repot menggigil saking dinginnya.
Pesta perayaan berlangsung meriah dan lancar-lancar saja. Apalagi tanpa kehadiran Keiko, segalanya terasa semakin mudah. Ya, sejak tadi aku belum melihat batang hidungnya. Mungkin ia sedang mendekap di atas tempat tidurnya seraya meratap, mengapa idenya tak digubris oleh teman sekelas.
Hohoho.
Di tengah-tengah menunggu pergantian tahun, tiba-tiba kami dikejutkan oleh teriakan-teriakan histeris dari arah lapangan rumput seberang. Seketika itu hampir seluruh murid di SMA Teitan mengerumuni lapangan itu, termasuk aku.
“Ada yang pingsan! Ada yang pingsan!”
“Siapa? Kelas berapa?”
“Entahlah, sepertinya ia murid baru kelas dua.”
“Hei, itu Keiko-chan!”
Mendengar nama itu disebut, mau tak mau aku ikut mendekat dan menerobos kerumunan. Kulihat di sana tubuh mungil Keiko yang terbujur di hamparan rerumputan dengan keadaan yang mengenaskan. Tubuhnya hanya berbalut kemben—pakaian tradisional khas Indonesia—dengan sehelai kain jarik batik membebat perut hingga lututnya. Sial, bodoh benar, Keiko!
Walaupun aku membencinya, hati nuraniku tak bisa berdusta. Aku segera meraih tubuhnya yang sedingin es. Aku mengecek denyut nadinya yang terasa lemah sekali. Apa dia kedinginan?
“Hei, cepat telepon ambulans!” seruku.
Kazehaya dengan sigap memencet tombol di handphone-nya dan menelepon ambulans. Sementara aku melepas mantel hangatku dan kupakaikan kepada Keiko. Saat memakaikannya, aku mendapati secarik kertas di genggaman tangannya yang mulai kaku.
Entah apa yang mendorongku untuk mengetahui isinya. Tanpa basa-basi aku segera membuka lipatan kertas itu dan membacanya. Dan… hatiku miris membacanya.
Aku seperti orang kalap dan memeluk Keiko lebih erat. Kubisikkan namanya dengan harapan ingin ia segera bangun. Namun napas Keiko mulai habis dan denyut nadinya semakin melemah. Hingga akhirnya sesuatu yang sedari tadi kukhawatirkan terjadi.
Bersamaan dengan turunnya salju pertama kali di musim dingin ini, Keiko mengehembuskan napas terakhirnya. Dan entah dari mana asalnya, sehelai daun maple yang sudah kering kecokelatan jatuh, seolah baru saja gugur dari tangkainya.
***
Ohayou.
Selamat pagi, Keiko-chan. Apa kau tenang di sana? O genki desu ka?
Ya, sudah setahun sejak kepergian Keiko-chan. Kini aku berdiri di depan gerbang apartemenku, di samping kotak surat yang mulai berkarat. Seperti tahun lalu, aku kembali membaca surat dari Keiko-chan. Kali ini yang kubaca adalah suratnya yang terakhir, goresan terakhirnya di malam tahun baru.
Takuma-kun, aku tahu kau benci dengan tanah air kita. Begitu banyak aib dan keburukan yang dilakukan hingga mencoreng moreng nama baik tanah air kita. Tapi, kau harus tahu, siapa lagi yang akan membela tanah air kalau bukan kita? Siapa yang akan memajukan Indonesia kalau bukan kita? Bukan bangsa Belanda, bukan pula bangsa Jepang.
Tapi kita, Takuma-kun
Dan kini aku hanya bisa menatap daun yang terus berguguran itu.


Kita tidak selalu bisa membangun masa depan untuk generasi muda, tapi kita dapat membangun generasi muda untuk masa depan (Franklin D. Roosevelt)

0 komentar:

Posting Komentar