Aku sudah muak
berada di sini. Terlalu sering aku tersedak debu. Semakin lama semakin bosan.
Aku terus mengeluh. Mengapa tak seorang pun mau melirikku?
Aku pun muak
dengan teman-teman tas lain. Mereka tak pernah ramah padaku. Mereka mengejekku
habis-habisan. Sakiiit... sekali. Aku benar-benar amat iri pada mereka. Tak
sampai seminggu, mereka pasti laku keras. Trend
mereka memang oke dan berkelas. Sedangkan aku?
Jangan tanya,
deh. Aku hanyalah sebuah tas kulit lusuh warna cokelat tanpa daya tarik secuil
pun. Tas-tas lain biasa menyebutku Cokelat. Aku tak lagi berada di dalam
etalase yang hangat dan nyaman.Sekarang, sudah tujuh bulan lima belas hari aku
tergantung di toko.Well,
digantung tanpa plastik pelindung. Jahat benar pegawai toko ini.
Bukan hanya sekali-dua kali. Tiap ada pelanggan yang
datang, aku selalu berharap ada yang membeliku, atau hanya sekedar melirikku. Namun,
apa dayaku?
Aku sudah
tidak trendy lagi. Model tas sepertiku sudah jadul sementara para pelanggan di luar
sana fashionable. Tak dapat kupungkiri, aku
selalu
iri
pada
tas-tas lain yang menyambut
dengan
suka-gembira
tas plastik berlogo toko ini.
“HEI, Cokelat! Ngelamun nih yee…?”
Tiba-tiba terdengar suara yang amat familier. Si Merah
Maroon. Aku hanya mendengus sebal mendengarnya. Ah, harus siap-siap tutup
telinga nih. Aku berani bersumpah demi nenek moyang tas di seluruh dunia, si
Maroon pasti mulai melancarkan serangan mautnya.
“Mikirin apa sih? Gara-gara nggak laku-laku ya?“
Aku memutar bola mataku ke arah lain, mencoba bersikap
acuh tak acuh.
“Apa perlu aku nyanyikan lagu untukmu, Cokelat? Ibu-ibu, bapak-bapak, siapa yang mau beli...
Cokelat tak laku-laku... huhuhu...“
Apaan sih? batinku kesal, tak sanggup menebalkan telinga. Hatiku
mulai sakit mendengar cemoohannya.
“Zaman sekarang modelmu sudah nggak trendy lagi, tuh!“
Oh God, sebuah mata anak panah
menembus jantungku.
“Well, maaf-maaf
saja ya, Cokelat. Tapi
sepertinya aku nggak akan
bisa nemenin penantian
panjangmu yang nggak bakal berakhir ini,
deh. Lihat gadis
berkaus putih itu nggak?”
Si Maroon tersenyum penuh kesombongan,” Dia melirikku
terus, tuh!”
Walaupun
harga diriku terasa
tercabik-cabik, aku penasaran dengan perkataan Maroon.
Mau tak mau aku mengikuti
arah pandangnya dan
memastikan dengan mata kepalaku
sendiri. Sialnya, si sombong Maroon itu benar.
“Yeah,
aku
sangat menarik dibandingkan
kamu, bukan?”
Huh, terserah
deh! Batinku sesak. Ada empat
mata anak panah
lagi yang menusuk ulu hatiku. Arghhh…
sakiiit…
Cepat-cepat aku menghibur diri sendiri dan menerima
kenyataan dengan lapang dada. Uh, padahal si Maroon baru saja tinggal lima hari
dan hari ini ia sudah laku! Sulit dipercaya! Mengapa aku tidak begitu? Mengapa
aku harus menjadi korban setia butiran debu sepanjang musim ini? Benar-benar
sulit dipercaya.
Di kemudian hari aku punya teman baru. Oh, kurasa ia
tak pantas kuanggap sebagai teman karena sama halnya dengan tas-tas lainnya, ia
turut mengejekku. Pendatang baru kali ini bernama Violet, warna lembayung.
Dia tampak mmm... amat cantik dan berkesan elegan. Uh, bikin iri saja. Dan bikin
makan
hati
sampai
hati
ini
terasa
amat
pilu. Tak seperti
Maroon, si Violet lebih
sadis. Tidak
berperike-tas-an !
’’Mengapa aku mencium bau menyengat yang tidak
sedap ?˝ katanya
seraya
menutup
hidung.
˝Hei, kau keliru, kali. Aku
tidak
mencium
apa-apa. Memangnya bau seperti
apa?“
timpal si Putih, tas kanvas
yang jutek.
“Mmm… seperti bau bangkai
busuk, atau bau sampah dan
sejenisnya. Dan bau itu
tepat
persis
berasal dari SEBELAHKU.”
Aku yang mendengarnya terkejut seketika
itu. Dadaku terasa sesak
sekali. Hatiku sakit, seperti ada sesuatu yang menghimpitku. Apakah aku seburuk
itu? Oh, dua puluh lima mata anak panah kembali menghunjam dadaku.
Ucapan kejam nan sadis yang terlontar dari mulut Violet membuatku amat terpukul. Setelah
itu aku berusaha tidak
berkomunikasi dengan tas-tas lainnya. Bahkan sebisa mungkin aku menghindari
kontak mata walaupun tak disengaja. Terlalu banyak mata anak panah yang
mendarat padaku dan aku tak akan sanggup lagi menahan rasa sakit yang tak
terperi.
***
Aku tersedak debu ketika pegawai toko itu
membersihkanku dengan kemucingnya seraya berkata,“Kasihan, kau. Seharusnya hari
ini kau akan kubuang ke tempat sampah. Tetapi kemarin ada yang menelepon dan
menanyakan apakah masih ada tas kulit warna cokelat yang murah meriah. Untung
kau belum kubuang. Biarpun murah, tetap saja uang.“
Raut mukaku menjadi cerah seketika.
Aku akan laku! Sorakku dalam hati. Sepanjang waktu aku
menunggu si pelanggan tanpa menghiraukan ejekan pedas dari tas lainnya.
“Kudengar kau akan laku ya?“ ujar Violet dengan nada
tak suka.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Well, merupakan suatu prestasi yang luar
biasa bisa mengalahkan pamor si Violet yang amat cantik dan elegan itu!
“Huh, gitu aja
bangga! Memangnya kau bernilai jual berapa sih?” tukas si Putih Kanvas.
Aku tetap
membungkam mulut. Nggak ada untungnya memberi tahu mereka berapa nilai jualku.
“Itu sih nggak
usah ditanyakan lagi!”sambung Violet,”Paling-paling juga seharga obralan kaus
kutang!”
Uh... pedas nian
ucapanmu wahai Ratu Congkak!
Aku memalingkan
muka, menatap jalanan yang ramai. Orang-orang berlalu-lalang berjalan di atas
trotoar. Beberapa ada yang memperlambat langkah mereka untuk sekedar
melihat-lihat toko, termasuk toko tas yang kini kutinggali.
Tiba-tiba
seorang gadis berparas cantik memasuki toko kami. Ia terlihat seperti sedang
sakit. Tubuhnya tinggi tapi kurus kerempeng. Matanya cekung dan kulitnya yang
putih terlihat agak pucat. Langkahnya lebar, terkesan sedang tergesa-gesa. Ia
mendekat pada salah satu pegawai toko dan berkata sesuatu. Kemudian pegawai
toko kami membawanya menuju deretan tas tempat hunianku.
Hei, ternyata
gadis itu adalah pembeliku!
Aku pun
menyambut tas plastik putih berlogo toko kami dengan senyum sumringah. Emosiku
begitu meluap-luap, sampai aku tak menyadari si Violet menatapku dengan tatapan
membunuh. Biar saja. Emang gue
pikirin?
***
Kini aku telah
memiliki majikan. Aku benar-benar siap sedia dengan tugas perdanaku. Walaupun
agak berat karena barang bawaan majikanku yang banyak, aku tetap bersemangat
menjalankan tugas.
“Hei, mengapa kamu senyam-senyum terus?” sebuah suara
menyadarkanku.
“Oh, hei, dompet
biru! Maaf, aku terlalu senang karena ada orang yang mau membeliku dan
menjadikanku sebagai budaknya.”
“Yang benar
saja, tas cokelat!” timpal HP hitam.
“Hmm?” aku
meliriknya heran.
“Kami bahkan
sudah muak menjadi budak gadis ini selama berbulan-bulan. Sangat muak!”
Dahiku
berkerut-kerut mendengarnya.
“Mengapa? Hei,
harusnya kalian bersyukur tahu! You know
what, aku sudah memimpikan tugas baruku ini sejak lama.”
“Bersyukur
katamu? Aku belum segila itu!” jawab HP sinis.
“Hhh...
sudahlah. Jangan berdebat terus.” Dompet biru menengahi.
“Ingat ya,
Cokelat. Kau pasti akan menarik ucapanmu jika masih bersikeras bersyukur
seperti itu!”
Setelah kejadian
itu, bebanku mulai ringan. Beberapa barang pribadi majikanku sudah raib entah
ke mana. Si HP hitam juga telah hilang. Sepertinya sudah dijual oleh si gadis.
Padahal aku masih penasaran dengan perkataannya yang kini memenuhi benakku.
Bukan hanya HP hitam yang menghilang, namun si ramah dompet biru juga ikut
lenyap. Kini hanya ada berlembar-lembar uang seratus ribu dan lima puluh ribuan
yang diikat rapih. Aku enggan berbicara dengan mereka karena suara mereka amat
mahal, semahal nilainya. Well,
bagaimanapun juga, mereka berada di atasku karena dengan merekalah aku bisa
dibeli.
Tak lama
kemudian beberapa dari uang tersebut diambil majikan. Hatiku senang, sekaligus
berharap-harap cemas. Mungkin si gadis akan membeli sesuatu yang baru. Dan aku
akan punya teman mengobrol lagi seperti HP dan dompet biru.
Agak lama,
datanglah penghuni baru. Dia adalah bubuk putih yang dibungkus plastik. Aku
bertanya-tanya dalam hati. Siapakah gerangan si bubuk putih ini?
Keherananku
bertambah ketika datang lagi lembaran-lembaran daun kering dan satu boks
pil-pil. Aku pun memberanikan diri menyapa mereka.
“Hei, kawan!
Siapa kamu?” sapaku dengan senyum ramah tersungging di bibir.
Tetapi salah
satu dari mereka, si bubuk putih menatapku sinis.
“Aku salah satu
NARKOBA.”
***
Oh, lima puluh
mata anak panah menghunjam seluruh tubuhku seketika itu. Kali ini aku
benar-benar amat terpukul. Berhari-hari aku membawa mereka kian-kemari. Mereka
datang dan pergi, silih berganti. Membuat kesedihanku kembali datang menyusup
dalam hati.
Kini aku tahu
apa maksud HP hitam. Dan kini aku sungguh menyesal tak mempercayainya. Lebih
baik aku tersedak debu setiap hari. Tergantung sepanjang waktu di toko.
Mendengar tas lainnya memperolok-olokkan diriku. Atau bahkan terbuang dan
dirongsokkan bersama sampah-sampah hina.
Hidupku yang
sekarang lebih sengsara.
Aku tak
henti-hentinya menangis dalam hati. Tiba-tiba, di sela tangis sesalku, aku
mendengar gonggongan anjing. Lima detik kemudian aku menjerit dengan hebatnya.
Oh, tali tasku
copot satu digigit anjing! Kemudian aku dikoyak-koyak olehnya. Namun yang lebih
menyakitkan, si gadis tak mencoba menyelamatkanku. Hatiku ikut terkoyak melihat
majikanku yang berlari menjauh dengan membawa mereka, barang kesayangannya.
Setelah puas
mencabik-cabik diriku, anjing itu pergi begitu saja. Aku menangis sendu
meratapi nasibku. Namun, seolah ada malaikat yang turun dari langit datng
menghiburku. Aku sadar, lebih baik aku begini daripada menyembunyikan barang
haram itu. Setidaknya, aku tak lagi berkomplot untuk merusak generasi bangsa
ini.
Tiga puluh dari
lima puluh mata anak panah mulai terlepas perlahan dari tubuhku. Dan aku akan
berjuang lebih keras untuk melepas yang lainnya, yang merenggut kebahagiaanku.