Hidup itu seperti kupu-kupu.
Setiap waktu bermetamorfosis, menanti ujung hari menjadi kupu-kupu sejati.
Mungkin terdengar klise namun ini benar adanya. Lahir dari sebutir telur menjadi
ulat yang berjalan kian kemari mencari jati diri. Kemudian berhenti di
persinggahan yang ia buat sendiri, mendekam sekian lama dalam kegelapan
kepompong. Menunggu hari esok menjadi kupu-kupu sejati.Seperti halnya perjalanan panjang
kupu-kupu, garis hidupku juga mengalami metamorfosis. Ironisnya, hidupku tengah
dalam fase kepompong. Menunggu dan menunggu. Berharap kepompong yang membungkus
tubuhku membuka sedikit demi sedikit. Menanti keajaiban menyapa takdirku dan
mengubahnya, setidaknya sedikit lebih indah.
Dan hari itu aku merusaknya. Hari
itu aku merasa Tuhan mendengar doaku. Hari di mana kepompong ini mulai
mengelupas perlahan. Hari di mana aku bertemu dengan seseorang yang membantuku
keluar dari kepompong.
***
Aku menganut aliran kepercayaan kupunisme. Namun bukan berarti aku
memuja dan menyembah kupu-kupu. Aku hanya terlalu mengagumi dari perjalanan
kehidupan kupu-kupu. Saking kagumnya aku sampai memiliki satu kebun bunga yang
luasnya hampir setengah dari luas rumahku untuk tempat koleksi kupu-kupu. Yup,
sejak aku menyadari filosofi hidup yang senada ini, aku tertarik untuk
mengoleksi puluhan ekor kupu-kupu dari berbagai jenis yang berbeda. Karena itu
aku memohon Saat itu ada seekor kupu-kupu baru saja keluar dari kepompong.
Namun entah mengapa binatang itu tak bisa mengepakkan sayap cantiknya. Merasa kasihan,
aku menangkapnya lalu memasukkannya ke dalam stoples kaca. Dengan sangat terpaksa aku membawanya keluar dari
kebun bungaku ke taman belakang. Mengapa
terpaksa? Karena dahulu aku pernah mendapati kupu-kupuku juga tak bisa terbang.
Lalu binatang itu kubawa ke taman belakang dan melepasnya di sana. Ternyata
mahkluk bersayap indah itu bisa terbang!
Namun yang menjadi permasalahan
saat itu adalah Keara, adikku, sedang menggelar pesta barbeque di sana!
Biasanya aku sangat enggan untuk
sekedar menampakkan diri di hadapan tamu Keara. Bukan apa-apa. Aku hanya tak ingin
tamu-tamu itu bertegur sapa apalagi mengajakku bercengkerama. Namun aku tak
boleh egois karena nyawa seekor kupu-kupu ada di tanganku. Jadi aku
mengendap-endap ke taman belakang yang cukup rimbun, menyembunyikan diri di
balik tanaman perdu yang menjulang tinggi.
Naas, entah bagaimana terjadinya.
Bodohnya, aku menabrak salah satu teman Keara¾yang
entah mengapa tiba-tiba ada di tengah rerimbunan tanaman!
BRUUK!! PRAANGGG!!!
“Whoops, sori!” sebuah suara yang nge-bass keluar dari mulut seseorang yang kutabrak.
Aku tak menghiraukannya¾walaupun aku sendiri jatuh
terduduk¾karena pandanganku
seketika beralih pada stoples kaca yang pecah. Oh God, kupu-kupunya! Tak disangka-sangka, makhluk mungil itu
terbang!
Tanpa sadar mataku mengikuti arah
terbang kupu-kupu itu selama beberapa waktu. Hingga akhirnya kupu-kupu itu
hilang dari pandangan, aku tersadar akan sesuatu. Cepat-cepat aku beralih pada
seseorang yang berdiri di sampingku, seorang cowok yang baru saja kutabrak
beberapa menit lalu.
Cowok itu tersenyum basa-basi
lalu mengulurkan tangannya padaku,”Kamu nggak pa-pa?” ujarnya terdengar ramah.
Aku menyambut uluran tangannya
seraya tersenyum basa-basi pula.
“Sodaranya Keara?” tanyanya lagi.
Dan lagi-lagi aku tersenyum seraya mengangguk kecil.
Setelah aku berdiri, aku segera
undur diri dan berlari menjauh darinya. Tidak. Aku tak ingin seseorang
mengetahui keberadaanku.
***
Di tengah keasyikan menangkap
seekor kupu-kupu dengan sayap warna kuning, tiba-tiba seseorang membuka pintu
kebunku. Mau tak mau aku menoleh untuk memastikan siapa yang datang. Dan
seseorang yang datang itu adalah cowok yang lima belas menit lalu bertemu
denganku di taman belakang! Oops, ini
gawat!
Aku menghentikan aktivitasku
menangkap kupu-kupu dan mendekatinya.
“Suka banget ya sama kupu-kupu?”
tanyanya.
Aku mengangguk.
“Maniak?”
Aku menggeleng.
“Oh ya. kita
belum kenalan.” Cowok itu mengulurkan tangannya,”Aku Kafi. Kafi Aliffian.”
Kebimbangan
segera merayapi hatiku. Tangan yang terulur di hadapanku menggantung begitu
saja. tanpa penolakan, tak juga penyambutan.
“Kamu?”
tanyanya kemudian dengan tangan yang tetap terulur.”Namamu pasti nggak kalah
kerennya dengan Keara.”
Aku
menggigit bibir. Uh, dia bertanya siapa namaku. Harusnya tinggal jawab saja
lalu beres kan? Tapi… nggak bisa!
Demi
kesopanan, akhirnya aku menjabat tangannya yang sudah terlalu lama menggantung
di udara.
“Wuih, akhirnya…”
Kafi menyeringai,”Aku pikir kamu nggak bakal mau salaman sama aku.”
Aku hanya
tersenyum samar. Sejujurnya, aku memang nggak kepingin salaman.
“Oh ya. Kamu
belum sebutin nama kamu nih. Curang! Kamu sudah tahu salah satu identitasku
tapi aku belum tahu apa-apa, Bahkan namamu pun enggak.”
Kini aku
benar-benar merasa sungkan. Jadi cepat-cepat aku merogoh saku jinsku yang
selalu menyimpan selusin kartu namaku. Lalu kuserahkan dengan cepat selembar
kartu nama itu pada cowok yang bernama Kafi itu.
Mulanya
ia mengerutkan kening,” Heran. Zaman modern serba canggih begini ngapain masih
pakai kartu nama? Iya sih, kartu nama itu masih penting. Tapi itu kan lazimnya
buat bapak-bapak atau tante-tante direktur perusahaan yang sok penting?”
Aku
mengedikkan bahu. Tak tahu harus bilang apa.
“Oke, aku
salut.” Lalu ia membaca kartu nama itu dengan saksama.”Grandis Arisona. Keren
banget namanya. By the way, kamu
ngomong dong dari tadi! Aku serasa gimana gitu ngoceh sendiri sedari tadi.”
Tenggorokanku
serasa tercekat seketika. Aku menelan ludah susah payah. ini dia yang sedari
tadi kuhindari. Pertanyaan mematikan yang jawabannya nggak enak didengar.
“Nyantai
aja, Dis.” Kafi malah cengar-cengir melihatku gugup.”Aku memang cakep kok. Kamu
kenapa sih? Nggak bisu kan?”
“Dia bisu.”
CRAP!
***
Ada yang
aneh pada kupu-kupu di kebunku.
Setiap
aku memainkan alunan melodi dari biolaku, mereka datang mendekat padaku lalu
berterbangan di sekeliling, berputar-putar di atas kepalaku. Namun jika aku
mengakhiri permainan biolaku maka mereka akan menjauh dengan sendirinya. Seolah-olah
mereka datang untuk menari padaku.
Pikiranku
sedang melantur kesana-kemari memikirkan keanehan kupu-kupu itu saat seseorang
membuka pintu kebun. Otomatis kepalaku menoleh ke belakang dan aku menghentikan
permainan biolaku. Dalam hati aku mendesah melihat siapa yang datang.
“Kupu-kupu
kamu unik ya. Tahu aja kalau musik yang kamu mainkan itu indah banget.”
Aku
merogoh notes yang ada di saku lalu menuliskan sesuatu. Lima detik kemudian aku
menyodorkan notes itu ke hadapan Kafi. Ngapain
kamu di sini? Aku lagi sibuk.
Kafi
menyeringai,”Kamu jahat banget sih. Siapa juga yang mau ada perlu sama kamu? Aku
mau ketemu kupu-kupumu kok.”
Aku
kembali menulis sesuatu. Sekarang udah
ketemu kan?
“Udah
sih.” Kafi mengerutkan kening seelah membacanya.”Terus kamu mau ngusir aku
gitu? Padahal setelah ini aku mau ketemu sama yang punya kupu-kupu.”
Ya ampun,
GUBRAK!
Seringai
Kafi semakin lebar. Ia kemudian berjalan ke arah bangku kayu yang tak jauh dari
tempatnya berdiri tadi. Aku pun mengikutinya karena aku juga merasa kakiku agak
pegal.
“Aku
kaget banget waktu Keara bilang kamu bisu kemarin. Tapi…” tiba-tiba Kafi
memandangku dalam.”Kamu hebat banget ya main musiknya. Sampai-sampai kupu-kupu
itu terbang di atas kepalamu.”
Aku
menoleh padanya, jengah. Apa-apaan sih dia?
“Kamu mau
ikut konser amal untuk panti asuhan bulan depan? Aku dan Keara juga ikut.”
Aku
menggeleng cepat.
“Kenapa? Minder?”
Aku nggak bisa nyanyi kan? tulisku
di notes.
Kafi
tertawa lalu mengacak-acak poniku. Ih, ganjen amat sih dia?
“Kamu
pikir konser itu mesti nyanyi ya? Mungkin kemampuan bermusikmu bahkan jauh
lebih indah dibandingkan lagu-lagu yang dibawakan oleh penyanyi kondang.”
Aku
tergugu mendengarnya.
“Oke,
pokoknya kamu kudu ikut. Wajib.” kemudian ia beranjak dari duduknya.”Aku pulang
dulu, deh. Masih harus ngurusin persiapan konser amal. Kamu latihan aja ya,
Dis.”
Kafi
meninggalkanku dalam keterpanaan. GOSH,
aku nggak pernah nemuin seseorang yang begitu antusias padaku. Tak sekalipun
aku bertemu dengan seseorang yang mau menerimaku apa adanya. Apakah ini
tanda-tanda mengelupasnya kepompongku?
Entahlah,
namun beginilah hidupku pasca kedatangan Kafi dua minggu lalu.
Setelah home schooling, aku berlatih memainkan
biola di kebun bersama kupu-kupu milikku. Kadang Kafi datang dengan membawa
gitar akustik dan kami pun berlatih bersama-sama. Dia begitu pengertian, begitu
memahamiku. Keterbatasan bahasa tak menjadikannya lantas bosan dan menjauh
dariku. Aku malah merasakan dia enjoy-enjoy
saja bersamaku.
Begitulah
kehidupanku selama dua minggu. Hari-hari penuh harapan dan sejuta angan. Tanpa
sadar perasaanku terhadapnya tak lagi sebagai teman. Namun telah berkembang
menjadi suatu rasa yang aneh, yang selalu membuat detak jantungku berdetak dua
kali lebih cepat saat ia duduk di sampingku. Atau membuat kerongkonganku terasa
tercekat karena aroma tubuhnya bisa kucium dalam jarak sedekat itu. Membuatku
melambung dengan semua perhatian yang ia berikan.
Namun aku
hanya bisa bertahan pada rasa sepihak ini. Siapa juga yang mau dengan cewek
aneh nan bisu sepertiku? Kalaupun ada, mungkin saat itu di dunia ini hanya
akulah satu-satunya kaum hawa yang tersisa.
***
“Hati-hati Kak, sama Kafi. dia itu playboy. Pacarnya
selalu lebih dari dua, selingkuhannya ada di mana-mana. Jangan sampai suka sama
dia ya.”
Pesan
Keara kemarin terngiang-ngiang di telingaku. Membuatku menghentikan latihan
terakhirku sebelum latihan konser amal. Entah mengapa hari ini perasaanku
terasa ganjil. Seakan sesuatu yang buruk akan segera menimpaku. Feeling guilty.
Perasaanku
semakin kacau saat aku memasuki halaman panti asuhan tempat aku latihan pertama
untuk konser amal. Sudah ada banyak pemuda-pemudi yang menenteng biola, gitar
akustik, tifa, bahkan seruling. Tak satu pun aku mengenal mereka. Karena itu
aku memutuskan untuk menunggu Kafi saja. Lagipula, aku adalah seorang
tunawicara. Pasti sulit sekali berinteraksi dengan orang-orang yang tak pernah
berkomunikasi denganku sebelumnya.
Sepuluh
menit kemudian, misteri itu terpecahkan. Apa penyebab perasaanku yang
kacau-balau. Apa yang membuatku gelisah tak keruan. Semuanya terjawab hanya
dengan satu detik!
***
Kini aku percaya
mengapa seekor kupu-kupu tak akan dapat terbang jika ia keluar dari kepompong
dengan bantuan manusia. Sama sepertiku yang tak bisa membuka pintu kepompong
hidupku, kupu-kupu akan tertatih-tatih. Rasanya sangat sakit sekali jika
anganmu yang sudah terbang sebebas unggas udara tiba-tiba terhempas begitu saja
dalam sekejap!
Sama
halnya saat mataku menangkap sosok yang kusayangi berjalan bersama perempuan
lain yang jauh lebih sempurna dibandingkan diriku yang tuna wicara. Saat sosok
itu melenggang tanpa menghiraukan perasaanku yang bercampur aduk. Bodohnya, aku
memilih jalan yang lebih tragis dari sekedar cinta tak terbalas karena aku
berusaha tegar di hadapannya!
Dan
beginilah hidupku pasca kedatangan Kafi dua minggu lalu. Kedatangan yang tidak
hanya sendiri, namun bersama seseorang yang mungkin telah ia pilih untuk
menjadi kekasihnya.
Walaupun
konser tinggal menghitung mundur, latihan yang kulakukan sama sekali tidak ada
yang patut dibanggakan. Bahkan kupu-kupu yang selalu menari berputar-putar di
dekatku kini menjauh pergi saat alunan melodi dari biola kumainkan. Aku pun
semakin malas merawat kebun karena ternyata kehidupan kupu-kupu itu memang
menyedihkan. Setelah menjadi kupu-kupu indah nan cantik maka ia akan mati. Terkubur
bersama harapan dan angan-angan yang mungkin belum sempat ia gapai semasa
hidupnya.
***
Tapi aku
memang bukan kupu-kupu. Aku tak bisa seenaknya kembali bermetamorfosis kembali
dari sebutir telur. Aku hanya harus membenahi garis takdir yang menyedihkan
ini, tanpa bermetamorfosis. Tak juga dengan harapan-harapan yang dulu ada
ketika hidupku masih terkungkung dalam kepompong. Kini aku menjadi kupu-kupu. Kupu-kupu
yang cacat, yang tertatih-tatih mencari pengobat luka.
Jadi
sebisa mungkin aku berusaha tersenyum di hadapan Kafi, seolah-olah tak terjaid
seseuatu padaku.
“Kamu
aneh, Dis. dari tadi ditanya cuma diem terus. ngangguk enggak, geleng enggak,
nulis di noptes pun enggak. Cuma senyam-senyum terus.”
Aku makin
melebarkan senyum palsuku.
“Kamu
marah sama aku ya?”
CRAP! Kenapa sih Kafi itu diciptakan untuk membaca perasaanku?
Apa mataku benar-benar tak bisa diajak kompromi untuk berbohong?
“Atau
kamu… marah karena waktu latihan konser dua minggu lalu aku kacangin terus?”
Aku
mengeleng lemah—PENUH KEDUSTAAN. Lalu aku menatapnya dalam selama beberapa
detik, memberinya kesempatan untuk menyelami pikiranku. Aku harus menyembuhkan
luka ini atau aku akan selamanya menjadi kupu-kupu yang tak bisa terbang.
“Kamu
kenapa sih, Dis?” Kafi terdengar agak kesal.
Akhirnya
aku mengeluarkan notes yang telah kutulis sesuatu, yang sejak awal sudah
kupersiapkan untuknya.
Aku hanya nggak kepingin jadi kupu-kupu yang terkubur
mati bersama angan semunya…
Kafi
terdiam lalu menatapku tajam,”Jangan bilang angan semu itu sedang berada tepat
di depan matamu.”
DOUBLE CRAP! Dia menyadarinya juga? Apa dia juga tahu perasaanku?
Entah
bagaimana mulanya tiba-tiba Kafi merengkuhku ke pelukannya. Tubuhku segera
melakukan pemberontakan namun lengan kekarnya dengan kuat memelukku erat. Seolah-olah
aku akan hilang jika ia melepasnya barang sedetik pun.
“Kalau kamu jealous dua minggu lalu, bilang. Kalau
kamu nggak suka aku jalan bareng temen cewekku, bilang juga. Kalau kamu
sebenernya juga sayang aku… bilang juga, Dis.”
Apa
katanya? Apakah Kafi juga memiliki perasaan yang sama?
“Jangan
bilang lagi angan semu, Dis. Aku nggak bakal bikin kamu kembali menjalani
kehidupanmu dalam kepompong. Trust me,
kamu bakal jadi kupu-kupu terindah yang akan terbang jauh sampai ke langit
ketujuh…”
0 komentar:
Posting Komentar