Click Here For Free Blog Templates!!!
Blogaholic Designs

Pages

Senin, 21 September 2015

Analogi Kupu - Kupu

Hidup itu seperti kupu-kupu. Setiap waktu bermetamorfosis, menanti ujung hari menjadi kupu-kupu sejati. Mungkin terdengar klise namun ini benar adanya. Lahir dari sebutir telur menjadi ulat yang berjalan kian kemari mencari jati diri. Kemudian berhenti di persinggahan yang ia buat sendiri, mendekam sekian lama dalam kegelapan kepompong. Menunggu hari esok menjadi kupu-kupu sejati.Seperti halnya perjalanan panjang kupu-kupu, garis hidupku juga mengalami metamorfosis. Ironisnya, hidupku tengah dalam fase kepompong. Menunggu dan menunggu. Berharap kepompong yang membungkus tubuhku membuka sedikit demi sedikit. Menanti keajaiban menyapa takdirku dan mengubahnya, setidaknya sedikit lebih indah.
Dan hari itu aku merusaknya. Hari itu aku merasa Tuhan mendengar doaku. Hari di mana kepompong ini mulai mengelupas perlahan. Hari di mana aku bertemu dengan seseorang yang membantuku keluar dari kepompong.
***
Aku menganut aliran kepercayaan kupunisme. Namun bukan berarti aku memuja dan menyembah kupu-kupu. Aku hanya terlalu mengagumi dari perjalanan kehidupan kupu-kupu. Saking kagumnya aku sampai memiliki satu kebun bunga yang luasnya hampir setengah dari luas rumahku untuk tempat koleksi kupu-kupu. Yup, sejak aku menyadari filosofi hidup yang senada ini, aku tertarik untuk mengoleksi puluhan ekor kupu-kupu dari berbagai jenis yang berbeda. Karena itu aku memohon Saat itu ada seekor kupu-kupu baru saja keluar dari kepompong. Namun entah mengapa binatang itu tak bisa mengepakkan sayap cantiknya. Merasa kasihan, aku menangkapnya lalu memasukkannya ke dalam stoples kaca. Dengan sangat terpaksa aku membawanya keluar dari kebun bungaku ke  taman belakang. Mengapa terpaksa? Karena dahulu aku pernah mendapati kupu-kupuku juga tak bisa terbang. Lalu binatang itu kubawa ke taman belakang dan melepasnya di sana. Ternyata mahkluk bersayap indah itu bisa terbang!
Namun yang menjadi permasalahan saat itu adalah Keara, adikku, sedang menggelar pesta barbeque di sana!
Biasanya aku sangat enggan untuk sekedar menampakkan diri di hadapan tamu Keara. Bukan apa-apa. Aku hanya tak ingin tamu-tamu itu bertegur sapa apalagi mengajakku bercengkerama. Namun aku tak boleh egois karena nyawa seekor kupu-kupu ada di tanganku. Jadi aku mengendap-endap ke taman belakang yang cukup rimbun, menyembunyikan diri di balik tanaman perdu yang menjulang tinggi.
Naas, entah bagaimana terjadinya. Bodohnya, aku menabrak salah satu teman Keara¾yang entah mengapa tiba-tiba ada di tengah rerimbunan tanaman!
BRUUK!! PRAANGGG!!!
Whoops, sori!” sebuah suara yang nge-bass keluar dari mulut seseorang yang kutabrak.
Aku tak menghiraukannya¾walaupun aku sendiri jatuh terduduk¾karena pandanganku seketika beralih pada stoples kaca yang pecah. Oh God, kupu-kupunya! Tak disangka-sangka, makhluk mungil itu terbang!
Tanpa sadar mataku mengikuti arah terbang kupu-kupu itu selama beberapa waktu. Hingga akhirnya kupu-kupu itu hilang dari pandangan, aku tersadar akan sesuatu. Cepat-cepat aku beralih pada seseorang yang berdiri di sampingku, seorang cowok yang baru saja kutabrak beberapa menit lalu.
Cowok itu tersenyum basa-basi lalu mengulurkan tangannya padaku,”Kamu nggak pa-pa?” ujarnya terdengar ramah.
Aku menyambut uluran tangannya seraya tersenyum basa-basi pula.
“Sodaranya Keara?” tanyanya lagi. Dan lagi-lagi aku tersenyum seraya mengangguk kecil.
Setelah aku berdiri, aku segera undur diri dan berlari menjauh darinya. Tidak. Aku tak ingin seseorang mengetahui keberadaanku.
***
Di tengah keasyikan menangkap seekor kupu-kupu dengan sayap warna kuning, tiba-tiba seseorang membuka pintu kebunku. Mau tak mau aku menoleh untuk memastikan siapa yang datang. Dan seseorang yang datang itu adalah cowok yang lima belas menit lalu bertemu denganku di taman belakang! Oops, ini gawat!
“Taman kupu-kupu...”gumamnya lalu berdecak kagum,”Bagus banget.”
Aku menghentikan aktivitasku menangkap kupu-kupu dan mendekatinya.
“Suka banget ya sama kupu-kupu?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Maniak?”
Aku menggeleng.
“Oh ya. kita belum kenalan.” Cowok itu mengulurkan tangannya,”Aku Kafi. Kafi Aliffian.”
Kebimbangan segera merayapi hatiku. Tangan yang terulur di hadapanku menggantung begitu saja. tanpa penolakan, tak juga penyambutan.
“Kamu?” tanyanya kemudian dengan tangan yang tetap terulur.”Namamu pasti nggak kalah kerennya dengan Keara.”
Aku menggigit bibir. Uh, dia bertanya siapa namaku. Harusnya tinggal jawab saja lalu beres kan? Tapi… nggak bisa!
Demi kesopanan, akhirnya aku menjabat tangannya yang sudah terlalu lama menggantung di udara.
“Wuih, akhirnya…” Kafi menyeringai,”Aku pikir kamu nggak bakal mau salaman sama aku.”
Aku hanya tersenyum samar. Sejujurnya, aku memang nggak kepingin salaman.
“Oh ya. Kamu belum sebutin nama kamu nih. Curang! Kamu sudah tahu salah satu identitasku tapi aku belum tahu apa-apa, Bahkan namamu pun enggak.”
Kini aku benar-benar merasa sungkan. Jadi cepat-cepat aku merogoh saku jinsku yang selalu menyimpan selusin kartu namaku. Lalu kuserahkan dengan cepat selembar kartu nama itu pada cowok yang bernama Kafi itu.
Mulanya ia mengerutkan kening,” Heran. Zaman modern serba canggih begini ngapain masih pakai kartu nama? Iya sih, kartu nama itu masih penting. Tapi itu kan lazimnya buat bapak-bapak atau tante-tante direktur perusahaan yang sok penting?”
Aku mengedikkan bahu. Tak tahu harus bilang apa.
“Oke, aku salut.” Lalu ia membaca kartu nama itu dengan saksama.”Grandis Arisona. Keren banget namanya. By the way, kamu ngomong dong dari tadi! Aku serasa gimana gitu ngoceh sendiri sedari tadi.”
Tenggorokanku serasa tercekat seketika. Aku menelan ludah susah payah. ini dia yang sedari tadi kuhindari. Pertanyaan mematikan yang jawabannya nggak enak didengar.
“Nyantai aja, Dis.” Kafi malah cengar-cengir melihatku gugup.”Aku memang cakep kok. Kamu kenapa sih? Nggak bisu kan?”
“Dia bisu.”
CRAP!
***
Ada yang aneh pada kupu-kupu di kebunku.
Setiap aku memainkan alunan melodi dari biolaku, mereka datang mendekat padaku lalu berterbangan di sekeliling, berputar-putar di atas kepalaku. Namun jika aku mengakhiri permainan biolaku maka mereka akan menjauh dengan sendirinya. Seolah-olah mereka datang untuk menari padaku.
Pikiranku sedang melantur kesana-kemari memikirkan keanehan kupu-kupu itu saat seseorang membuka pintu kebun. Otomatis kepalaku menoleh ke belakang dan aku menghentikan permainan biolaku. Dalam hati aku mendesah melihat siapa yang datang.
“Kupu-kupu kamu unik ya. Tahu aja kalau musik yang kamu mainkan itu indah banget.”
Aku merogoh notes yang ada di saku lalu menuliskan sesuatu. Lima detik kemudian aku menyodorkan notes itu ke hadapan Kafi. Ngapain kamu di sini? Aku lagi sibuk.
Kafi menyeringai,”Kamu jahat banget sih. Siapa juga yang mau ada perlu sama kamu? Aku mau ketemu kupu-kupumu kok.”
Aku kembali menulis sesuatu. Sekarang udah ketemu kan?
“Udah sih.” Kafi mengerutkan kening seelah membacanya.”Terus kamu mau ngusir aku gitu? Padahal setelah ini aku mau ketemu sama yang punya kupu-kupu.”
Ya ampun, GUBRAK!
Seringai Kafi semakin lebar. Ia kemudian berjalan ke arah bangku kayu yang tak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Aku pun mengikutinya karena aku juga merasa kakiku agak pegal.
“Aku kaget banget waktu Keara bilang kamu bisu kemarin. Tapi…” tiba-tiba Kafi memandangku dalam.”Kamu hebat banget ya main musiknya. Sampai-sampai kupu-kupu itu terbang di atas kepalamu.”
Aku menoleh padanya, jengah. Apa-apaan sih dia?
“Kamu mau ikut konser amal untuk panti asuhan bulan depan? Aku dan Keara juga ikut.”
Aku menggeleng cepat.
“Kenapa? Minder?”
Aku nggak bisa nyanyi kan? tulisku di notes.
Kafi tertawa lalu mengacak-acak poniku. Ih, ganjen amat sih dia?
“Kamu pikir konser itu mesti nyanyi ya? Mungkin kemampuan bermusikmu bahkan jauh lebih indah dibandingkan lagu-lagu yang dibawakan oleh penyanyi kondang.”
Aku tergugu mendengarnya.
“Oke, pokoknya kamu kudu ikut. Wajib.” kemudian ia beranjak dari duduknya.”Aku pulang dulu, deh. Masih harus ngurusin persiapan konser amal. Kamu latihan aja ya, Dis.”
Kafi meninggalkanku dalam keterpanaan. GOSH, aku nggak pernah nemuin seseorang yang begitu antusias padaku. Tak sekalipun aku bertemu dengan seseorang yang mau menerimaku apa adanya. Apakah ini tanda-tanda mengelupasnya kepompongku?
Entahlah, namun beginilah hidupku pasca kedatangan Kafi dua minggu lalu.
Setelah home schooling, aku berlatih memainkan biola di kebun bersama kupu-kupu milikku. Kadang Kafi datang dengan membawa gitar akustik dan kami pun berlatih bersama-sama. Dia begitu pengertian, begitu memahamiku. Keterbatasan bahasa tak menjadikannya lantas bosan dan menjauh dariku. Aku malah merasakan dia enjoy-enjoy saja bersamaku.
Begitulah kehidupanku selama dua minggu. Hari-hari penuh harapan dan sejuta angan. Tanpa sadar perasaanku terhadapnya tak lagi sebagai teman. Namun telah berkembang menjadi suatu rasa yang aneh, yang selalu membuat detak jantungku berdetak dua kali lebih cepat saat ia duduk di sampingku. Atau membuat kerongkonganku terasa tercekat karena aroma tubuhnya bisa kucium dalam jarak sedekat itu. Membuatku melambung dengan semua perhatian yang ia berikan.
Namun aku hanya bisa bertahan pada rasa sepihak ini. Siapa juga yang mau dengan cewek aneh nan bisu sepertiku? Kalaupun ada, mungkin saat itu di dunia ini hanya akulah satu-satunya kaum hawa yang tersisa.
***
“Hati-hati Kak, sama Kafi. dia itu playboy. Pacarnya selalu lebih dari dua, selingkuhannya ada di mana-mana. Jangan sampai suka sama dia ya.”
Pesan Keara kemarin terngiang-ngiang di telingaku. Membuatku menghentikan latihan terakhirku sebelum latihan konser amal. Entah mengapa hari ini perasaanku terasa ganjil. Seakan sesuatu yang buruk akan segera menimpaku. Feeling guilty.
Perasaanku semakin kacau saat aku memasuki halaman panti asuhan tempat aku latihan pertama untuk konser amal. Sudah ada banyak pemuda-pemudi yang menenteng biola, gitar akustik, tifa, bahkan seruling. Tak satu pun aku mengenal mereka. Karena itu aku memutuskan untuk menunggu Kafi saja. Lagipula, aku adalah seorang tunawicara. Pasti sulit sekali berinteraksi dengan orang-orang yang tak pernah berkomunikasi denganku sebelumnya.
Sepuluh menit kemudian, misteri itu terpecahkan. Apa penyebab perasaanku yang kacau-balau. Apa yang membuatku gelisah tak keruan. Semuanya terjawab hanya dengan satu detik!
***
Kini aku percaya mengapa seekor kupu-kupu tak akan dapat terbang jika ia keluar dari kepompong dengan bantuan manusia. Sama sepertiku yang tak bisa membuka pintu kepompong hidupku, kupu-kupu akan tertatih-tatih. Rasanya sangat sakit sekali jika anganmu yang sudah terbang sebebas unggas udara tiba-tiba terhempas begitu saja dalam sekejap!
Sama halnya saat mataku menangkap sosok yang kusayangi berjalan bersama perempuan lain yang jauh lebih sempurna dibandingkan diriku yang tuna wicara. Saat sosok itu melenggang tanpa menghiraukan perasaanku yang bercampur aduk. Bodohnya, aku memilih jalan yang lebih tragis dari sekedar cinta tak terbalas karena aku berusaha tegar di hadapannya!
Dan beginilah hidupku pasca kedatangan Kafi dua minggu lalu. Kedatangan yang tidak hanya sendiri, namun bersama seseorang yang mungkin telah ia pilih untuk menjadi kekasihnya.
Walaupun konser tinggal menghitung mundur, latihan yang kulakukan sama sekali tidak ada yang patut dibanggakan. Bahkan kupu-kupu yang selalu menari berputar-putar di dekatku kini menjauh pergi saat alunan melodi dari biola kumainkan. Aku pun semakin malas merawat kebun karena ternyata kehidupan kupu-kupu itu memang menyedihkan. Setelah menjadi kupu-kupu indah nan cantik maka ia akan mati. Terkubur bersama harapan dan angan-angan yang mungkin belum sempat ia gapai semasa hidupnya.
***
Tapi aku memang bukan kupu-kupu. Aku tak bisa seenaknya kembali bermetamorfosis kembali dari sebutir telur. Aku hanya harus membenahi garis takdir yang menyedihkan ini, tanpa bermetamorfosis. Tak juga dengan harapan-harapan yang dulu ada ketika hidupku masih terkungkung dalam kepompong. Kini aku menjadi kupu-kupu. Kupu-kupu yang cacat, yang tertatih-tatih mencari pengobat luka.
Jadi sebisa mungkin aku berusaha tersenyum di hadapan Kafi, seolah-olah tak terjaid seseuatu padaku.
“Kamu aneh, Dis. dari tadi ditanya cuma diem terus. ngangguk enggak, geleng enggak, nulis di noptes pun enggak. Cuma senyam-senyum terus.”
Aku makin melebarkan senyum palsuku.
“Kamu marah sama aku ya?”
CRAP! Kenapa sih Kafi itu diciptakan untuk membaca perasaanku? Apa mataku benar-benar tak bisa diajak kompromi untuk berbohong?
“Atau kamu… marah karena waktu latihan konser dua minggu lalu aku kacangin terus?”
Aku mengeleng lemah—PENUH KEDUSTAAN. Lalu aku menatapnya dalam selama beberapa detik, memberinya kesempatan untuk menyelami pikiranku. Aku harus menyembuhkan luka ini atau aku akan selamanya menjadi kupu-kupu yang tak bisa terbang.
“Kamu kenapa sih, Dis?” Kafi terdengar agak kesal.
Akhirnya aku mengeluarkan notes yang telah kutulis sesuatu, yang sejak awal sudah kupersiapkan untuknya.
Aku hanya nggak kepingin jadi kupu-kupu yang terkubur mati bersama angan semunya…
Kafi terdiam lalu menatapku tajam,”Jangan bilang angan semu itu sedang berada tepat di depan matamu.”
DOUBLE CRAP! Dia menyadarinya juga? Apa dia juga tahu perasaanku?
Entah bagaimana mulanya tiba-tiba Kafi merengkuhku ke pelukannya. Tubuhku segera melakukan pemberontakan namun lengan kekarnya dengan kuat memelukku erat. Seolah-olah aku akan hilang jika ia melepasnya barang sedetik pun.
“Kalau kamu jealous dua minggu lalu, bilang. Kalau kamu nggak suka aku jalan bareng temen cewekku, bilang juga. Kalau kamu sebenernya juga sayang aku… bilang juga, Dis.”
Apa katanya? Apakah Kafi juga memiliki perasaan yang sama?
“Jangan bilang lagi angan semu, Dis. Aku nggak bakal bikin kamu kembali menjalani kehidupanmu dalam kepompong. Trust me, kamu bakal jadi kupu-kupu terindah yang akan terbang jauh sampai ke langit ketujuh…”

 

0 komentar:

Posting Komentar