“Permisi…
permisi…”
Aku
mendesak kerumunan. Berjejal-jejal tubuh di hadapanku, membuatku harus menata
kembali pernapasan. Rasa penasaranku mengalahkan rasa maluku dan terus
mendesak. Walaupun aku harus rela terjepit karena badanku yang
mungil dan mencium bau keringat. Errrgghh...
Semua itu demi peran utama!
"Yes !"sorakku
senang setelah melihat papan pengumuman.
Walaupun sudah dapat kuduga
sebelumya, namun aku masih berharap-harap cemas. Selalu
ada sensasi yang berbeda melihat namaku terpampang di baris awal pengumuman. Selain
itu, menyenangkan sekali melihat para siswa lainnya yang menatapku penuh kagum
dan iri. Membuatku secara otomatis mendapat kehormatan sebagai the queen of drama.
Itu semua membuatku serasa nge-fly. Terbang
melayang sampai ke langit ketujuh.
"Sunny! Gimana, kamu
dapat peran utama lagi, kan?“Mareta menghampiriku sambil berlari-lari kecil.
Aku hanya tersenyum. Tanpa
kulontarkan jawaban pun, Mareta dan semua orang di bumi SPADA ini pasti tahu.
Bagaimana tidak? Aku, Sunny Syahputra, selalu mendapatkan peran utama baik
dalam drama maupun opera di sekolah. Dari kelas tujuh hingga kelas sembilan
sekarang, belum ada yang berhasil merebut peran yang menjadi idaman para siswa
teater.
"Wah, kamu memang Sunny deh! Selalu bersinar!” puji Mareta.
Aku
pun semakin melebarkan senyumku…
“Woi, Sun, ngapain
senyam-senyum begitu?” tegur Mareta.
Aku tergagap dan segera bangun dari khayalanku.
"Hmm... aku tahu! Pasti kamu lagi mikirin
pengumuman nanti ya?“ tebak Mareta.
"Iya lah. Secara gitu, ini adalah drama terbesar
dan terakhirku di sekolah. Cuma ada dua tahun sekali lagi.“ Kataku berapi-api.
"Kan waktu kelas tujuh dulu kamu udah pernah
dapat peran utama di drama Snow White.
Masa sekarang kepingin lagi? Nggak bosen, Sun?“
"Enggak, tuh. Tapi
Ret, drama kali ini bukan Snow White lagi.
Aku nggak tahu apa judulnya, tapi yang jelas, ini nggak mengisahkan tentang
seorang putri dan pangeran yang akhirnya hidup bahagia. Tapi ini drama yang
ceritanya diambil dari kehidupan remaja masa sekarang!”
TEET… TEEET…
Bunyi bel istirahat berkoar-koar. Waktunya
melihat pengumuman!
“Kamu dengar itu? Panggilan
jiwaku sudah menunggu!” aku bergegas bangkit.
"Lebay deh, Sun!“ Mareta mencibirku.
Aku hanya tertawa. Lalu berjalan keluar kelas. Kutatap
dari kejauhan papan pengumuman yang mulai ramai oleh siswa. Aku yakin di sana
namaku terpampang di barisan awal.
Setiap langkah, degup jantung ini makin berdetak tak
menentu. Tiba-tiba perasaaanku menjadi tak enak. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi.
“Permisi… permisi…”
Aku mendesak kerumunan. Berjejal-jejal tubuh di
hadapanku, membuatku harus menata kembali pernapasan. Rasa penasaranku
mengalahkan rasa maluku dan terus mendesak. Walaupun aku harus rela terjepit
karena badanku yang mungil dan mencium bau keringat.
Ini sama dengan yang kubayangkan tadi pagi !
pikirku. Semoga saja aku benar-benar mendapat peran utama !
Mataku segera melihat papan pengumuman dan aku
langsung lemas seketika.
Peran Utama : Liana Dwi (IX B)
Peran Pembantu : Sunny Syahputra (IX A)
“WHAAAT?!?!?!?!” seruku
kaget. Perlahan tubuhku terhuyung.
Mareta menahanku dari belakang. Kemudian dia menarikku
dan menjauh dari kerumunan. Aku masih terbelalak tak percaya dengan apa yang
kulihat beberapa detik yang lalu.
"Kok bisa Liana? Bukan kamu, Sun?“ tanya Mareta
keheranan.
"Aku bahkan cuma
jadi figuran.“ Kataku tak menggubris pertanyaan Mareta.
"Kok Bu Riva bisa korslet gini, sih? Udah jelas-jelas kemampuanmu dan Liana itu jauh beda,
kan ?! Kenapa kamu cuma jadi figuran?“ omel Mareta.
Aku hanya diam tanpa sepatah kata pun. Aku, Sunny
Syahputra, the queen of drama,
dikalahkan oleh Liana yang setahuku dari dulu nggak pernah main drama? Sebenarnya
siapa yang salah, sih? Kemampuanku yang berkurang? Liana yang makin mahir
berakting? Atau Bu Riva yang salah tulis orang? Bisa-bisanya beliau memberiku
peran pembantu.
Bukk!!!
Tiba-tiba bahuku
didorong oleh seseorang. Liana!
“Apa the queen of drama udah ganti jadi the queen mother of drama?” ejeknya.
Wajahku terasa panas
seketika. Amarahku meluap.
“Ap−“
“Udah, Sun! Nggak usah
diladenin!” Mareta memotong ucapanku.
“Sunny, Sunny… Nama itu
udah mulai redup. Atau bahkan
mungkin udah nggak bersinar lagi?”
Aku ingin maju selangkah, namun Mareta menahanku.
"Kayaknya kamu udah nggak layak dapat gelar itu,
deh!“ ejekan Liana makin menjadi-jadi.
Kemudian dia berlalu dan memasang wajah jijik.
Oh Tuhan, ingin rasanya aku menangis saat itu juga.
***
"ARRRGGGHHH!!!!!“
seruku kesal esok harinya.
"Ada apa, Sun?“
tanya Mareta.
“Ugh! Nyebelin tahu, Ret! Semua orang pada ngeledekin
aku!”
"Contohnya?“
"Kemarin, semua anak teateer nggak ada yang nyapa
aku. Semua pada buang muka. Dan di belakangku, mereka ngomongin aku. Mereka
sama aja dengan nusuk aku dari belakang!“
"Ya ampun, sampai segitunya?“
“Terus Ret, dunia jadi ikut-ikutan ngeledekin aku
deh!“
“Ngaco, ah.“
“Beneran! Kemarin, aku kan lihat drama korea yang
judulnya My Girlfriend is Gumiho, peran
utama milik Eun Hye In direbut oleh Mi Ho, gara-gara akting Mi Ho lebih baik.
Jangan-jangan kemampuanku memang berada di bawah Liana?“ jelasku cemas.
"Sunny! Jangan bersikap kekanak-kanakan gitu,
dong! Itu kan hanya drama!“
“Terus Ret,“ aku tak menggubrisnya,“ Tadi malam, waktu
aku keluar sama Papa, Mama, dan Mas Indra buat beli sepatu, aku juga
diledekin!“
“Lho, kok bisa?“
“Jadi begini ceritanya
Ret...“
...
Department
Store, malam hari
“Sunny,
menurut Mama sepatu yang ini lebih cocok buat kamu.” Ujar Mama padaku.
Aku
menggeleng pelan,”Enggak ah, Ma. Warnanya terlalu mencolok.”
“Kamu
ini masa dari tadi nggak ada yang cocok sih? Padahal kan kamu sendiri
yang minta dibelikan sepatu kets baru. Sekarang malah nggak ada satu pun yang
nyantol.” Omel Mama kesal.
“Iya, nih. Dasar pemilih!
Ma, kalo Sunny nggak mau,belikan Indra sepatu basket yang itu dong! Kan sia-sia
kalo udah ke sini nggak beli apa-apa.” Mas Indra menarik lengan Mama untuk
melihat sepatu basket yang diincarya.
“Ma, Papa juga mau sepatu
baru buat kerja, nih.”ujar Papa.
“Boleh. Mmm… Mama jadi
pingin sepatu baru. Yang ini bagus nggak?”Mama ikut-ikutan kepingin sepatu.
Aku
melongo. Sebenarnya yang mau beli sepatu siapa sih?
“Ma, sebenarnya yang mau
beli sepatu kan aku? Kenapa semua jadi ikut-ikutan?" aku melakukan
interupsi.
"Lho, ya nggak masalah,
kan? Kamu jadi beli nggak?“ sahut Mama tanpa memikirkan perasaanku.
"Enggak!“ jawabku
ketus.
Kenapa peran utamaku dalam
hal belanja pun harus ikut direbut?! Ugh!
...
"Kesel!!!!!!!!“ seruku pada Mareta.
"Sabar aja, Sun. Kali aja ini ujian dari Tuhan.“
Mareta mencoba menenangkanku.
"Salahku itu apa sih?“ gerutuku.
"Nggak tahu juga ya. Makanya Sun, jangan terlalu
meremehkan teman-teman teater lainnya. Kamu juga terlalu pede sih! Kalo nggak
kena jadi nyesel kan?“ Mareta jadi menyalahkanku.
"Kok kesannya aku yang salah?“ protesku.
“Lah, memang begitu kan kenyataannya? Pasti kamu nggak
nyadar. Tahu nggak? Kamu itu memang hebat, Sun. Kemampuanmu jauh lebih baik
dibandingkan anak-anak teater lainnya. Kamu memang pantas dapat peran utama di
setiap drama dan opera. Tapi dengan begitu, kamu nggak nyadar kan kalo kamu
berubah jadi sombong dan meremehkan yang lainnya? Kamu udah merasa di atas,
jadi kamu hanya melihat yang di bawah. Ketika kamu nggak sengaja tersandung,
rasanya memang sakit sekali.“
Aku terdiam. Kalau dipikir-pikir benar juga kata
Mareta. Aku terlalu pede. Kesannya kan aku takabur gitu.
Tanpa terasa aku meneteskan air mata. Semakin lama
semakin deras dan membuat Mareta panik.
"Lho, Sun, jangan nangis dong! Aku kan nggak
bermaksud membuat kamu nangis. Cup… cup… udah dong, Sun…” Mareta
memelukku.
Aku semakin terisak.
“Ret, makasih, kamu
udah buat aku sadar kalo aku salah. Aku janji, mulai sekarang aku akan jadi
orang yang baik. Aku nggak akan jadi pemeran utama lagi, deh!”
“Ya ampun, Sun, nggak
gitu juga kali… Kamu masih boleh kok jadi pemeran utama.”
Aku mengangguk. Syukurlah aku masih punya sahabat yang
memperhatikanku. Dan untungnya, aku masih boleh menjadi peran utama. Hehehe...
***
The End
0 komentar:
Posting Komentar